Kamis, 28 April 2011

A Tribute To Park Yong Ha

分享

FacebookPlurkYAHOO!

Thank you, Ahjumma, ladyusagi, Daiji, just a lady, Francine, and other visitors for leaving messages. It's comforting to know it is not just myself who feels sad. Today I somehow thought of him becoming a star in the sky, like most stories would tell you, and when I was driving to work, while peeking at the blue sky, I want...ed to cry already. I didn't look at the sky since. Every time I look up at the sky, I feel I need to numb myself a bit. I still can't believe he's gone. Tonight, I watched the concert clips that kitty uploaded. It's such a loss. I was watching the performance of ths songかけがえのない人 which means The Irreplacable Person. He is irreplaceable. His smiling eyes and glorious smile have always been charming. And now we could only remember him through those past works. In Hong Kong, once upon a time, there was a very famous singer/actor called Leslie Cheung. Many Koreans know him and he also committed suicide but at the age of 46 and because he was depressed. It was probably his worry of declining popularity with age that caused him to jump to his death from the 24h floor of the Mandarin Hotel. His being gay didn't have anything to do with it. I wasn't his music fan but I watched quite a lot of his movies. That feeling was totally different from this one. Because I wasn't a devout fan, it was a sense of pity. This one is a sense of deep loss. Sigh. Anyway, I don't watch Leslie's works or listen to his work anymore and I hope this would never happen to Park Yong Ha for me. But could you imagine the guts it took to step out of the window to fall 24 stories down. In my recent training, I learnt that strangulation takes 7-15 seconds to a minute to render someone unconscious depending on how much force it took and death ensues in a matter of minutes. Park Yong Ha must have calculated that before. Sorry, this was grisly. And of course, suicide seems to be a way out for most men when everything looks desperate. The suicide rates in Japan and Korea both top the Asian countries in the developed world. See list here. If only Park Yong Ha had some help in his company and financial troubles and if only he had time off to look after his father, he would still have been here. Everyone, don't push yourself so hard. If you need help, do call for help from those near you. Life is too short already. Thanks for listening to me writing on and on.

"Green Garden"

Kenapa judulnya “Green Garden”?
Jawabannya simple. Karena aku sangat mencintai tempat ini. Satu-satunya tempat yang bisa kusebut sebagai “Home Sweet Home”. Tapi aku sudah nggak berada di tempat itulagi. Yah, ibuku memutuskan untuk pindah ke tempat asing ini satu tahun yang lalu dan sampai kapanpun aku nggak akan bisa menyebut tempat asing ini sebagi Home Sweet Home.
Dulu, sewaktu pertama kali pindah ke tempat asing ini, aku selalu ingin kembali ke Green Garden, bahkan sempat terbesit dalam pikiran aku ingin membeli kembali rumahku yang dulu.
Tapi setelah meninggalnya sahabatku, semuanya berubah. Walaupun aku sangat mencintai tempat itu dan teman-temanku, aku nggak bisa kembali lagi ke sana. Sekarang yang tersisa dari tempat itu hanyalah kesedihan. Aku nggak bisa lagi bertemu dengan sahabatku. Kalau aku ingat Green Garden, aku akan teingat sahabatku dan itu sangat menyayat hatiku.
Aku selalu teringat keceriannya yang selalu membuatku tertawa setiap bertemu dengannya, kedewasaannya yang selalu membuatku tertegun, kemandiriannya di saat ia tak lagi punya orang tua, ketegarannya dalam menghadapi penyakitnya. Dian-diam aku selalu mengagumi sosoknya. Dan aku nggak pernah sekalipun menang kalau berdebat dengannya.
Aku hanya masih belum percaya ia telah tiada.
Tempat itu “Green Garden” penuh dengan kenangan indah dan aku nggak mau merusaknya dengan kenangan yang menyedihkan. Mungkin untuk saat ini aku nggak mengunjungi tempat itu sampai kesedihan tentang sahabatku hilang.

Minggu, 03 April 2011

Penulis Favorit

Sampai hari ini aku masih membaca ulang “Lord of The Rings.” Mungkin inilah novel yang paling aku suka dan nggak akan pernah bosan ketika membacanya. Tapi sebenarnya dari seri LOTR ini, justru aku paling suka dengan prequelnya, “Isildur”, meskipun bukan J.R.R. Tolkien yang yang mengarangnya.
Aku suka cerita dan gaya bahasa Tolkien (apakah aku harus memanggilnya profesor?) yang berwibawa dan sopan. Sangat berkelas (seenggaknya bagiku). Walaupun peperangan antara manusia dan orc berlangsung keji dan mengerikan, tetapi dengan bahasa Tolkien, semua itu menjadi tidak terasa begitu mengerikan karena dikemas dengan bahasa yang sangat berwibawa.
Aku bertanya-tanya, apakah semua orang eropa mempunyai kesan berwibawa seperti Tolkien? Aku rasa mereka memang terlihat lebih berwibawa daripada orang Amerika yang sok.
Untuk novel atau buku-buku dari luar negeri, aku lebih suka kalau pengarangnya itu adalah pria dibanding penulis wanita. Itu karena gaya bahasa pria lebih halus dan mungkin lebih puitis untuk (beberapa penulis) daripada wanita,dan…terasa lebih romantis (kalau memang itu cerita romantis). Tapi…bisakah kamu membayangkan romantisnya versi luar negeri? Kakakku adalah orang yang suka dengan cerita romantis. Ia membeli beberapa (nggak banyak sih) buku romantis dari luar negeri. Kakakku bilang itu buku yang romantis, dan aku, sebagai pelahap buku, penasaran dan mulai membacanya. Tau apa yang terjadi ketika aku membacanya? Ya Tuhan…buku-buku itu membuatku mual. Aku nggak mau membaca buku-buku seperti itu.
Kita kembali ke tentang penulis pria dan wanita dari luar negeri. Aku merasa gaya bahasa penulis wanita dari luar negeri lebih kasar dan terasa seperti lebih memakai emosi daripada perasaan. Ini membuatku heran. Bukankah wanita itu lebih sensitif dan lembut daripada pria? Atau memang semua wanita barat seperti itu? Aku rasa tidak. Aku suka Stephanie Meyer. Setiap novelnya, seperti Twilight dan The Host, ditulis dengan lembut dan sangat berperasaan (walaupun sebenarnya aku nggak suka The Host. Maaf, aku nggak suka dengan akhir ceritanya. Menggantung dan merupakan akhir yang menyebalkan).
Lain dengan penulis wanita di Indonesia. Mereka bisa memainkan emosi si pembaca ketika membaca buku mereka. Sebut saja Dewi Lestari dan Asma Nadia (dua penulis favoritku). Aku begitu terkesima dengan novel “Perahu Kertas”. Novel dengan cerita yang sederhana, tetapi dikemas dengan bahasa yang anggun dan cukup menguras emosiku. Sangat romantis (catat itu) dan juga terselip semangat untuk nggak menyerah dengan apa yang kita impikan, betapapun mustahilnya itu.
Sedangkan Asma Nadia, bahasanya sangat ringan dan…apa yah…mungkin bisa dibilang sangat terus terang. Maksudnya sangat menuju sasaran. Setiap tulisannya selalu memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada para pembacanya. Itulah yang kumaksud dengan “sangat terus terang dan menuju sasaran”. Asma Nadia selalu menulis buku yang bermanfaat bagi banyak orang. Uang bukanlah tujuannya. Ia pernah berkata ketika aku mengikuti workshop menulisnya, bahwa ia tidak akan menerbitkan buku sebelum ia yakin betul kalau buku itu bermanfaat untuk orang-orang yang membacanya.
Aku terbiasa banyak membaca buku-buku dari luar negeri yang bahasanya lebih berat. Ketika pertama kali membaca buku Asma Nadia “Emak Ingin Naik Haji”, bahasanya sangat ringan, tetapi justru malah aku nggak mengerti. Aku mambacanya sekali lagi, dan akhirnya aku tau mengapa banyak orang yang menyukai buku-bukunya. Hmm…bagaimana ya menjelaskannya. Susah untuk diungkapkan dengan kata-kata selain buku-bukunya selalu memberikan manfaat yang positif dan mengandung pelajaran berharga.