Minggu, 03 April 2011

Penulis Favorit

Sampai hari ini aku masih membaca ulang “Lord of The Rings.” Mungkin inilah novel yang paling aku suka dan nggak akan pernah bosan ketika membacanya. Tapi sebenarnya dari seri LOTR ini, justru aku paling suka dengan prequelnya, “Isildur”, meskipun bukan J.R.R. Tolkien yang yang mengarangnya.
Aku suka cerita dan gaya bahasa Tolkien (apakah aku harus memanggilnya profesor?) yang berwibawa dan sopan. Sangat berkelas (seenggaknya bagiku). Walaupun peperangan antara manusia dan orc berlangsung keji dan mengerikan, tetapi dengan bahasa Tolkien, semua itu menjadi tidak terasa begitu mengerikan karena dikemas dengan bahasa yang sangat berwibawa.
Aku bertanya-tanya, apakah semua orang eropa mempunyai kesan berwibawa seperti Tolkien? Aku rasa mereka memang terlihat lebih berwibawa daripada orang Amerika yang sok.
Untuk novel atau buku-buku dari luar negeri, aku lebih suka kalau pengarangnya itu adalah pria dibanding penulis wanita. Itu karena gaya bahasa pria lebih halus dan mungkin lebih puitis untuk (beberapa penulis) daripada wanita,dan…terasa lebih romantis (kalau memang itu cerita romantis). Tapi…bisakah kamu membayangkan romantisnya versi luar negeri? Kakakku adalah orang yang suka dengan cerita romantis. Ia membeli beberapa (nggak banyak sih) buku romantis dari luar negeri. Kakakku bilang itu buku yang romantis, dan aku, sebagai pelahap buku, penasaran dan mulai membacanya. Tau apa yang terjadi ketika aku membacanya? Ya Tuhan…buku-buku itu membuatku mual. Aku nggak mau membaca buku-buku seperti itu.
Kita kembali ke tentang penulis pria dan wanita dari luar negeri. Aku merasa gaya bahasa penulis wanita dari luar negeri lebih kasar dan terasa seperti lebih memakai emosi daripada perasaan. Ini membuatku heran. Bukankah wanita itu lebih sensitif dan lembut daripada pria? Atau memang semua wanita barat seperti itu? Aku rasa tidak. Aku suka Stephanie Meyer. Setiap novelnya, seperti Twilight dan The Host, ditulis dengan lembut dan sangat berperasaan (walaupun sebenarnya aku nggak suka The Host. Maaf, aku nggak suka dengan akhir ceritanya. Menggantung dan merupakan akhir yang menyebalkan).
Lain dengan penulis wanita di Indonesia. Mereka bisa memainkan emosi si pembaca ketika membaca buku mereka. Sebut saja Dewi Lestari dan Asma Nadia (dua penulis favoritku). Aku begitu terkesima dengan novel “Perahu Kertas”. Novel dengan cerita yang sederhana, tetapi dikemas dengan bahasa yang anggun dan cukup menguras emosiku. Sangat romantis (catat itu) dan juga terselip semangat untuk nggak menyerah dengan apa yang kita impikan, betapapun mustahilnya itu.
Sedangkan Asma Nadia, bahasanya sangat ringan dan…apa yah…mungkin bisa dibilang sangat terus terang. Maksudnya sangat menuju sasaran. Setiap tulisannya selalu memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada para pembacanya. Itulah yang kumaksud dengan “sangat terus terang dan menuju sasaran”. Asma Nadia selalu menulis buku yang bermanfaat bagi banyak orang. Uang bukanlah tujuannya. Ia pernah berkata ketika aku mengikuti workshop menulisnya, bahwa ia tidak akan menerbitkan buku sebelum ia yakin betul kalau buku itu bermanfaat untuk orang-orang yang membacanya.
Aku terbiasa banyak membaca buku-buku dari luar negeri yang bahasanya lebih berat. Ketika pertama kali membaca buku Asma Nadia “Emak Ingin Naik Haji”, bahasanya sangat ringan, tetapi justru malah aku nggak mengerti. Aku mambacanya sekali lagi, dan akhirnya aku tau mengapa banyak orang yang menyukai buku-bukunya. Hmm…bagaimana ya menjelaskannya. Susah untuk diungkapkan dengan kata-kata selain buku-bukunya selalu memberikan manfaat yang positif dan mengandung pelajaran berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar